Negara-negara Arab Ingin Bersatu Lawan Israel, tapi Terbatas Opsi
Israel Sebagai Pemersatu yang Kontradiktif
Israel secara konsisten menjadi faktor pemersatu retoris bagi dunia Arab selama beberapa dekade. Namun, di balik kesatuan kata-kata itu, selalu terdapat perpecahan yang dalam mengenai tindakan nyata. Sekarang, gelombang kekerasan terbaru kembali menyulut seruan persatuan. Meskipun demikian, keinginan untuk membentuk front persatuan yang solid justru terbentur pada realitas geopolitik modern yang sangat kompleks. Konflik ini, oleh karena itu, tidak lagi sekadar soal solidaritas; melainkan tentang kepentingan nasional, stabilitas ekonomi, dan aliansi yang telah bergeser secara fundamental.
Retorika Pan-Arabisme vs. Realitas Kepentingan Nasional
Di atas panggung politik, para pemimpin Arab dengan lantang mengutuk agresi Israel. Mereka menyerukan perlunya langkah-langkah kolektif dan mendesak komunitas internasional untuk turun tangan. Akan tetapi, begitu turun dari panggung, setiap negara langsung menghadapi kalkulus nasionalnya sendiri-sendiri. Beberapa negara harus memprioritaskan stabilitas ekonomi dan proyek pembangunan nasional mereka. Negara lain justru sangat mempertimbangkan hubungan keamanan yang terjalin dengan kekuatan Barat. Akibatnya, kesenjangan antara retorika publik dan tindakan diplomatik yang sebenarnya menjadi sangat lebar dan semakin sulit untuk dijembatani.
Ancaman Keamanan Regional yang Multidimensi
Israel bukanlah satu-satunya kekhawatiran utama bagi banyak ibu kota Arab. Ancaman yang mereka rasakan justru datang dari berbagai sudut. Misalnya, ancaman eksistensial dari program nuklir Iran mendominasi pemikiran strategis negara-negara Teluk. Selain itu, jaringan milisi non-negara yang sangat kuat dan tersebar luas terus menciptakan ketidakstabilan di kawasan. Kelompok seperti Houthi di Yaman dan milisi berbasis Iran di Irak serta Suriah seringkali menjadi perhatian yang lebih mendesak. Oleh karena itu, banyak negara Arab melihat konflik dengan Israel sebagai salah satu masalah dari sekian banyak masalah keamanan yang harus mereka kelola, bukan sebagai satu-satunya prioritas.
Dinamika Internal: Rakyat vs. Pemerintah
Jalan raya di kota-kota Arab seringkali bergemuruh dengan suara protes rakyat yang membela Palestina. Tekanan dari masyarakat akar rumput ini nyata dan sangat kuat bagi para penguasa. Pemerintah harus menyeimbangkan antara amarah publik yang otentik dengan hubungan diplomatik dan ekonomi yang terjalin dengan Israel serta sekutunya. Di satu sisi, mereka membutuhkan legitimasi domestik. Di sisi lain, mereka tidak bisa mengabaikan kerja sama intelijen yang penting atau investasi asing yang sangat dibutuhkan. Permainan keseimbangan yang rumit ini pada akhirnya membatasi opsi ofensif kolektif yang bisa mereka ambil.
Normalisasi: Pemecah Belah atau Jalan Baru?
Perjanjian Abraham Accords secara tegas memecah belah front Arab tradisional. Beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko kini justru menjalin hubungan diplomatik formal dengan Israel. Mereka berargumen bahwa keterlibatan langsung justru lebih efektif daripada konfrontasi. Sebaliknya, negara-negara seperti Aljazair dan Yaman mengecam keras normalisasi ini dan menyebutnya sebagai pengkhianatan. Akibatnya, dunia Arab sekarang terbagi menjadi blok-blok yang berbeda pendekatannya terhadap Israel, sehingga mustahil untuk mencapai kebijakan luar negeri yang benar-benar terkoordinasi dan seragam.
Keterbatasan Militrer dan Ketergantungan Teknologi
Meskipun memiliki jumlah personel yang besar, angkatan bersenjata negara-negara Arab menghadapi beberapa kelemahan mendasar. Mereka seringkali sangat bergantung pada sistem senjata dan suku cadang dari Amerika Serikat dan Eropa. Negara-negara Barat ini biasanya memasang klausul ketat yang membatasi penggunaan persenjataan mereka untuk melawan sekutu seperti Israel. Selain itu, interoperabilitas antara militer Arab yang berbeda sangatlah rendah. Kurangnya latihan bersama dan doktrin komando yang terpadu menjadikan pembentukan aliansi militer yang efektif sebagai mimpi yang sulit diwujudkan dalam waktu dekat.
Jerat Ketergantungan Ekonomi dan Energi
Ekonomi global saling terhubung dengan erat, dan negara-negara Arab memiliki kepentingan besar di dalamnya. Banyak negara di kawasan ini sangat bergantung pada ekspor minyak dan gas ke pasar internasional, yang notabene didominasi oleh sekutu-sekutu utama Israel. Melancarkan perang ekonomi atau embargo minyak justru akan menjadi bumerang yang memukul balik ekonomi mereka sendiri. Selain itu, investasi asing langsung dan proyek mega seperti NEOM di Arab Saudi membutuhkan stabilitas regional dan hubungan yang baik dengan Barat. Dengan demikian, kepentingan ekonomi praktis seringkali mengalahkan semangat konfrontasi.
Medan Proxy yang Sudah Jenuh
Konflik antara Arab dan Israel telah lama merambah ke medan proxy. Negara-negara Arab memberikan dukungan finansial dan militer kepada berbagai faksi Palestina. Namun, dukungan ini sendiri seringkali tidak terkoordinasi dan justru memperdalam perpecahan internal Palestina antara Fatah dan Hamas. Lebih lanjut, intervensi di negara-negara seperti Suriah dan Yaman telah menguras sumber daya dan perhatian diplomatik Arab. Akibatnya, kapasitas dan keinginan untuk membuka front proxy baru yang besar melawan Israel menjadi sangat terbatas.
Peran dan Dilema Otoritas Palestina
Otoritas Palestina sendiri menghadapi dilema yang sangat dalam. Di satu sisi, mereka membutuhkan dukungan politik dan finansial dari negara-negara Arab. Di sisi lain, mereka juga terlibat dalam koordinasi keamanan dengan Israel yang justru dikutuk oleh banyak orang Palestina. Fragmentasi internal antara Tepi Barat dan Gaza semakin melemahkan posisi tawar mereka. Ketidakmampuan untuk menyatukan kepemimpinan Palestina sendiri pada akhirnya memberikan alasan bagi negara-negara Arab untuk menahan diri dari tindakan yang lebih definitif dan bersifat konfrontatif.
Jalan ke Depan: Diplomasi atau Deadlock?
Melihat semua kendala ini, opsi yang tersisa untuk negara-negara Arab tampaknya sangat terbatas. Mereka mungkin akan terus meningkatkan tekanan diplomatik di forum-forum internasional seperti PBB dan ICC. Selain itu, upaya boikot produk-produk pemukiman Israel mungkin akan mendapatkan lebih banyak dukungan. Namun, tindakan militer kolektif skala besar tampaknya tidak mungkin terjadi. Masa depan, oleh karena itu, kemungkinan akan diwarnai oleh ketegangan yang terus-menerus, retorika yang panas, dan tindakan yang hati-hatiāsebuah deadlock yang menyedihkan yang tidak menguntungkan siapa pun, terutama rakyat Palestina yang terus menderita.
https://shorturl.fm/rc5ta